ZMedia Purwodadi

Chromebookgate: Digitalisasi Pendidikan yang Gagal

Table of Contents
Chromebookgate: Digitalisasi Pendidikan yang Gagal

Penulis : Dr Elinda Rizkasari., S.Pd., M.Pd

(Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta)

DIGITALISASI pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan. Sayangnya, di Indonesia, ia justru berubah menjadi jurang yang menelan kepercayaan publik.

Kasus pengadaan Chromebook senilai hampir Rp 9,9 triliun yang kini diselidiki Kejaksaan Agung telah mengguncang dunia pendidikan.

Proyek yang digadang-gadang sebagai langkah modernisasi sekolah, ternyata menyisakan jejak korupsi, inefisiensi, dan kebijakan yang jauh dari kebutuhan riil di lapangan.

Bayangkan, jutaan perangkat Chromebook dibeli, tetapi banyak sekolah mengeluh tidak bisa memakainya optimal.

Alasan klasik: koneksi internet yang lemah, guru belum dilatih, hingga keterbatasan listrik di daerah. 

Alih - alih menjadi solusi, Chromebook hanya menjadi pajangan di gudang sekolah atau sekadar "hiasan" di meja siswa. 

Digitalisasi yang gagal ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merampas hak belajar anak-anak Indonesia.

Kisah Nyata di Lapangan

Di sebuah SMP negeri di Jawa Tengah, tumpukan Chromebook masih tersimpan rapi dalam kardus.

Kepala sekolah mengaku belum berani mendistribusikan karena khawatir rusak tanpa jaringan internet yang memadai.

Guru-guru pun kebingungan, sebab mereka tidak pernah mendapat pelatihan bagaimana mengintegrasikan perangkat itu ke dalam pembelajaran.

Akhirnya, proses belajar mengajar tetap kembali ke kapur, papan tulis, dan modul fotokopian.

Ironisnya, murid-murid harus menerima kabar bahwa sekolah mereka “sudah didigitalisasi”.

Cerita seperti ini berulang di berbagai daerah. Dari pelosok Kalimantan hingga Nusa Tenggara, suara serupa menggema: Chromebook ada, tetapi tidak bisa dipakai.

Proyek raksasa yang digembar-gemborkan ternyata tak lebih dari etalase modernisasi semu, jauh dari harapan besar yang semestinya diemban oleh program digitalisasi pendidikan.

Data dan Penelitian

Riset Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud (2023) menunjukkan bahwa hampir separuh sekolah di Indonesia masih mengalami kesulitan akses internet stabil.

Laporan UNESCO (2022) juga menegaskan bahwa digitalisasi pendidikan hanya akan efektif bila disertai kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan dukungan kebijakan jangka panjang.

Tanpa tiga hal ini, perangkat digital hanya akan menjadi simbol modernisasi tanpa substansi.

Dengan kata lain, Chromebookgate memperlihatkan jurang besar antara ambisi dan realitas.

Teknologi dipaksakan masuk ke sekolah tanpa memperhitungkan konteks sosial, ekonomi, dan geografis bangsa kita.

Alhasil, digitalisasi pendidikan berubah menjadi proyek mercusuar: megah di atas kertas, tetapi kosong maknanya di lapangan.

Mengapa Bisa Gagal?

Kegagalan proyek Chromebook ini bukanlah kebetulan, melainkan akibat dari orientasi kebijakan yang lebih menekankan pada angka pengadaan ketimbang kebutuhan nyata siswa dan guru.

Perangkat canggih itu jatuh ke tangan sekolah yang belum siap, sementara pelatihan guru hanya sekadar formalitas.

Infrastruktur internet yang lambat dan listrik yang terbatas membuat pemanfaatannya mustahil.

Di atas semua itu, lemahnya pengawasan membuka peluang korupsi, menjadikan anggaran pendidikan yang seharusnya menyelamatkan masa depan, justru menjadi lahan bancakan.

Solusi: Belajar dari Kegagalan

Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada digitalisasi. Pendidikan berbasis teknologi tetap penting untuk menyiapkan generasi muda menghadapi era kecerdasan buatan.

Namun, caranya harus benar-benar berubah. Digitalisasi bukan dimulai dari belanja perangkat, tetapi dari membangun fondasi.

Internet cepat dan listrik stabil harus menjadi syarat utama. Guru harus diberdayakan melalui pelatihan berkelanjutan, bukan sekadar workshop sehari untuk formalitas.

Dan yang paling penting, setiap rupiah anggaran pendidikan harus transparan, akuntabel, dan bisa diawasi publik. Tanpa itu, setiap proyek digital akan berulang menjadi skandal.

Negara-negara yang berhasil melakukan transformasi pendidikan digital, seperti Finlandia atau Korea Selatan, memulai dengan memperkuat pondasi dasar: infrastruktur yang merata, guru yang siap, serta regulasi yang tegas dan transparan.

Indonesia bisa belajar dari mereka, alih-alih terburu-buru membeli perangkat yang akhirnya berdebu di gudang sekolah.

Chromebookgate adalah alarm keras bagi bangsa ini. Jika pemerintah tidak segera belajar dari kegagalan ini, digitalisasi pendidikan hanya akan menjadi proyek mercusuar berikutnya—megah di atas kertas, rapuh di realitas.

Generasi muda Indonesia tidak butuh perangkat mahal yang tak terpakai. 

Mereka butuh pendidikan yang benar-benar memberdayakan, jujur, dan berpihak pada masa depan mereka.

Digitalisasi boleh gagal hari ini, akan tetapi jangan sampai harapan anak bangsa ikut dikubur bersama tumpukan Chromebook di gudang sekolah.

Mari jangan renggut masa depan anak dengan korupsi, karena hal ini akan mengambil hak mereka serta merenggut masa depan mereka.(*)

Posting Komentar