Warga Apresiasi Komnas HAM Tinjau Ulang Imbauan Relokasi Mandiri Pada Kawasan TNTN di Pelalawan
/data/photo/2025/06/18/68526408d3aa8.jpg)
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) adalah kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau, dan dikenal sebagai salah satu habitat penting bagi gajah Sumatera serta berbagai spesies flora dan fauna langka.
JagoanBlog.com, PELALAWAN - Juru bicara warga terdampak Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang tergabung dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz, sangat mengapresiasi rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM).
Aziz berharap penyelesaian persoalan TNTN dapat diselesaikan secara komprehensif, mengedepankan aturan-aturan yang telah ada untuk dijadikan sebagai aturan penyelesaian.
Bukan malah dengan melakukan tekanan, pemaksaan kehendak, apalagi intimidasi. Sebab yang dihadapi adalah rakyat, bukan separatis apalagi kelompok bersenjata.
Mengedepankan aparat militer bersenjata dalam penyelesaian TNTN, justru akan memperkeruh suasana. "Saat ini ada beberapa pos militer bersenjata di sana dan bahkan di lokasi plang penyitaan, masih ada camp militer. Ini maksudnya apa?" ujar Aziz.
Menurut Aziz, sejak awal, pembentukan TNTN ini sudah melanggar aturan. Salah satunya adalah pelanggaran atas PP 47 tahun 1997 junto PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Sudah lah begitu, setelah TNTN ada, pembiaran oleh kehutanan terjadi pula.
Atas kesalahan masa lalu dan pembiayaran itu, belakangan masyarakat yang kemudian dipersalahkan. Masyarakat disebut perambah. Ada pula bahasa 'cukong' yang sengaja diframing untuk menarik simpati publik.
Padahal sejak lama, bahkan sejak tahun 1974, areal yang kini disebut TNTN itu telah menjadi areal penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin HPH oleh kehutanan.
"Yang menariknya, di irisan TNTN itu, ada 153 ribu ha lahan yang dikuasai secara melanggar hukum oleh 13 perusahaan. Areal itu masuk dalam lansekap TNTN. Pelanggaran hukum ini bersama-sama dilakukan dengan kehutanan. Akibat pelanggaran hukum itu, negara dirugikan sekitar Rp7,4 triliun. Itu dari kayunya saja. Kenapa sampai sekarang ini enggak diproses? Kenapa masyarakat yang dikejar-kejar terus,"ujarnya.
Sebagaimana rilis dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menyoroti kebijakan relokasi mandiri terhadap warga yang tinggal di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau.
Relokasi ini dilakukan setelah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan penyitaan lahan yang diklaim masuk kawasan TNTN, ditandai dengan perobohan tanaman sawit dan penanaman pohon di lokasi pada 10 Juni 2025.
Sekitar 30 ribu jiwa di enam desa diminta untuk meninggalkan kawasan tersebut dengan batas waktu relokasi hingga 22 Agustus 2025. Komnas HAM yang melakukan pemantauan di lokasi pada 6-9 Agustus 2025 menyampaikan sejumlah temuan penting.
Pertama, sebagian besar lahan sawit di Tesso Nilo sebelumnya merupakan bekas izin usaha pemanfaatan hutan (IUHHK-HA) yang berubah menjadi semak belukar. Akses jalan yang dibuka perusahaan sejak awal 2000-an dan praktik hibah lahan oleh ninik mamak mendorong masuknya pendatang membuka kebun sawit.
Kedua, selama belasan tahun masyarakat lokal maupun pendatang tidak hanya bertanam sawit, tetapi juga membangun sekolah, rumah ibadah, pemakaman, hingga menjalani kehidupan seperti desa pada umumnya.
Ketiga, Komnas HAM menemukan Satgas PKH membangun posko dengan personel berseragam dan kendaraan berlogo TNI. Satgas memasang papan pengumuman relokasi mandiri, namun tanpa surat resmi kepada masing-masing warga.
Bahkan, sempat ada larangan sekolah menerima murid baru, meski kemudian dibatalkan setelah protes warga.
Keempat, warga menolak relokasi dengan alasan telah menetap dan menggantungkan hidup dari kebun sawit produktif, tanpa adanya tawaran kompensasi maupun kepastian lokasi tujuan.
Komnas HAM menilai himbauan relokasi tanpa kejelasan lokasi tujuan dapat menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Hal ini disebut melanggar hak atas tempat tinggal dan kehidupan layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Atas kondisi tersebut, Komnas HAM merekomendasikan empat hal. Pertama, meninjau ulang batas waktu relokasi mandiri hingga adanya perlindungan prosedural yang konkret agar konflik tidak terjadi.
Kedua, mendorong perumusan kebijakan penertiban hutan berbasis kajian komprehensif, termasuk hasil kajian Tim Revitalisasi Ekosistem TNTN tahun 2018 dan Konsultasi Nasional Krisis Tenurial 2016.
Ketiga, memberikan perlindungan prosedural bagi masyarakat terdampak, terutama melalui konsultasi yang tulus, pemulihan hukum, serta alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Keempat, menghindari penggunaan kekuatan berlebihan dan simbol militer di ranah sipil, serta mengedepankan pendekatan kemanusiaan melalui aparat sipil.
Dengan demikian, Komnas HAM menegaskan perlunya solusi komprehensif agar penertiban kawasan hutan tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan Tesso Nilo.(JagoanBlog.com/ Nasuha Nasution)
Posting Komentar