ZMedia Purwodadi

Belajar Bisnis dari AI?!

Table of Contents
Belajar Bisnis dari AI?!

JagoanBlog.com- Kakak ipar saya sepekan lagi pensiun di usia 55 tahun setelah 28 tahun bekerja di perusahaan pembiayaan ternama di Indonesia.

Sebagian besar uang pensiun rencananya akan dia gunakan untuk buka kafe yang target pasarnya anak muda terutama mahasiswa yang bikin makalah, skripsi, atau diskusi. Makanya dia akan melengkapi kafenya dengan Wifi dan colokan listrik untuk laptop.

Hanya saja, meski zaman sudah berbeda, kita tahu kalau kantong mahasiswa itu dari dulu sampai sekarang sama: terbatas. Kita gak ngomongin mahasiswa tajir, tentu, melainkan mahasiswa jelata yang masih menerima uang saku dari orangtua. Orangtuanya pun bukan dari golongan kaya.

Lagipula, belum tentu juga mahasiswa bakal rajin nongki di kafe sambil ngerjain tugas kuliah. Kalaupun ke kafe paling banter mereka cuma ngobrol. Beli kopinya secangkir ngobrol-nya berjam-jam. Saya jadi ingat tulisan Kompasianer Pak Irwan Rinaldi Sikumbang soal kawannya yang buka kedai kopi, lantas kedai itu dijadikan tempat ngobrol sampai berjam-jam oleh para tamu yang beli kopinya cuma secangkir.

Meski KBBI mengartikan kafe sebagai tempat minum kopi yang pengunjungnya dihibur dengan musik, tapi tidak berarti pengusaha kafe mengharap pengunjung beli kopi doank. Minimal beli cemilannya juga buat teman ngopi. Syukur-syukur beli kopinya nambah.

Suami saya, yang notabene adalah adiknya, tanya," Terus gimana kalau si mahasiswa beli cuma secangkir kopi, tapi pakai Wifi kafe sampai tiga jam, misalnya."

Kakak ipar saya bilang, “Sudah ditanyakan ke AI. Katanya naikkan saja harga kopi per cangkirnya.”

AI Mengikuti Pola Penanya

Saya juga sering pakai kecanggihan chat artificial intelligence. Saya pakai untuk riset data dan menanyakan lokasi tertentu guna mendukung cerita saat saya sedang ghostwriting.

Hanya saja, kalau dirasa perlu kita harus mengecek kembali ke sumber yang diberikan chat AI apakah data dari AI itu masih ada, valid, atau berasal dari orang iseng yang menaruhnya di internet.

Kalau kita tidak mau repot mengecek segala, maka ajukan pertanyaan yang lengkap dan detail kepada chat AI. Pertanyaan yang kita ajukan akan mempengaruhi jawaban yang diberikan si AI.

Misal, “Perlukah menaikkan harga secangkir kopi di kafe saya untuk mengantisipasi pengunjung cuma beli secangkir, tapi nongkrongnya berjam-jam?”

Mungkin karena sebelumnya saya terbiasa bertanya panjang, detail, dan minta dari sumber tertentu ke Copilot AI (chat yang saya gunakan) jadi ia pun memberi jawaban lengkap beserta konsekuensi, risiko, dan alternatifnya dari sumber yang saya inginkan.

Saya tidak tahu pertanyaan apa yang kakak ipar berikan ke chat AI karena dia yakin tidak perlu mengawasi kafe tiap hari. Selama ada manajer yang kita pekerjakan, kita tidak perlu turun langsung mengecek semua yang ada di kafe, katanya.

Saat kita login di chat AI atau menggunakan peramban yang sama tiap bertanya, algoritma AI akan mempelajari pola pertanyaan kita. Jadi meski tiap menit kita mengajukan pertanyaan yang berbeda, AI akan memberikan jawaban sesuai kebiasaan kita ketika bertanya. Kadang-kadang kita juga perlu "melatih" chat AI dengan cara membetulkan jawaban yang ia berikan. Pun memperbaiki kalau ternyata tautan yang dia berikan keliru atau sudah tidak valid.

Pertanyaan singkat dan simpel akan menghasilkan jawaban yang juga simpel, kadang asal comot dari mesin pencari yang informasinya sudah basi sejak bertahun-tahun lalu.

Secara umum, chat AI dirancang untuk mengingat poin-poin penting dari obrolan kita sebelumnya, bukan untuk menyimpan data pribadi secara permanen. Kalau ada sesuatu yang sudah tidak relevan atau mau kita perbarui, maka kita harus membuka obrolan/topik baru dengan AI yang kita gunakan.

AI dan Pengalaman Bisnis

Bisnis bukanlah hal eksak yang jika dihitung maka hasilnya harus saklek. Bisnis adalah ilmu sosial yang kalau bertanya pada AI rasanya kurang tepat, meski tidak salah juga.

AI tidak bisa menampilkan apa yang tidak ditaruh orang di dalam jaringan internet dan yang tidak dimasukkan ke programnya. Andai AI “dipaksa” memberi jawaban yang tidak ada di internet atau database, maka ia akan menyusun jawaban baru berdasarkan pola penalaran manusia. ia juga akan mencari pengalaman bertanya seseorang kepadanya dan pengetahuan yang dimasukkan oleh si programmer chat AI.

Karena itulah jawaban AI bisa sangat random kalau kita mau belajar bisnis darinya. Hal-hal random itu nggak banget kalau kita mau bisnis, karena ada uang besar yang dipertaruhkan. Saya punya warung kebutuhan sehari-hari yang lumayan lengkap. Selain uang pribadi, sebagian modalnya hasil pinjam KUR BRI dengan tenor dua tahun.

Ndilalah di dekat rumah saya sekarang berdiri swalayan baru yang dingin, wangi, bersih, dan kinclong. Anak-anak kecil dan remaja sekarang belanja di sana meski cuma beli permen, mi instan, atau minuman botol. Untungnya KUR BRI sudah lunas, jadi kalau sekarang warung sepi, ya mau gimana lagi. Sudah ada swalayan yang jaraknya cuma 50 meter dari warung. Yang penting sudah tidak ada utang lagi.

Jadi bisa dikatakan kalau betul-betul mau belajar bisnis, setidaknya kita bisa ngobrol dengan orang yang berpengalaman langsung di bidangnya. Kalau malas ngobrol kita bisa tonton kanal YouTube yang niche-nya membahas marketing, bisnis, resto, atau food and beverages.

Bagaimana pun bisnis adalah ilmu sosial karena melibatkan interaksi manusia. Maka apa yang ideal menurut teori belum tentu ideal saat diterapkan. Apalagi AI tidak berinteraksi seperti manusia, meski bisa menalar seperti manusia, karena ia bukan manusia.

Bisnis Manusia Tanya Ke Manusia

AI memang sering jempolan sebagai tempat bertanya. Makin sering kita menggunakannya makin ia mahir menyesuaikan diri dengan preferensi, keinginan, bahkan sudut pandang kita. Namanya juga kecerdasan buatan.

Akan tetapi, bisnis yang melibatkan manusia lebih oke kalau tanyanya ke manusia juga. Tidak perlu secara langsung. Bisa lewat buku, artikel, video, atau akun media sosial para pakar yang biasanya memberi insight tentang bisnis restoran dan kafe.

Lebih lagi kita tidak seperti Putri Tanjung dan Ryu Kintaro yang bila gagal masih punya modal untuk mencoba 10 kali lagi. Ryu Kintaro bahkan jualan susu dan cemilan pakai mobil Lexus bapaknya. Dari situ aja udah keliatan kalau dia jualan buat cari pengalaman, bukan buat nafkah hidup. Sementara kakak ipar saya niat buka kafe supaya dapat penghasilan.

Kita, kakak ipar saya, dan puluhan juta orang lain di Indonesia tidak akan punya kesempatan kedua kalau bisnisnya gagal. Karena sudah tidak ada modal lagi. Maka jangan sampai urusan bisnis nanya-nya ke AI.

Posting Komentar